
Hari pertama perjalanan tim JALIN KOMUNITAS Java Series berakhir di Kedai Kito Rato. Sebuah tempat yang menjadi rumah kehidupan bahkan kini menjadi kampus “kita setara” bagi teman-teman yang disebut Sahabat Disabilitas.
Kito Rato digagas oleh Agusnadi pada tanggal 17 Agustus tahun 2019 yang lalu. Beliau pulalah yang menyambut sekaligus memberikan penjelasan kepada tim JALIN seputar kedai kopi ini.
Baca juga:
* Mie Bangcat di Padang Panjang, Pedasnya Disukai Banyak Pelanggan
Kito Rato, Agusnadi menjelaskan, berasal dari bahasa Sumatera.
“Awalnya ada tiga anak disabilitas yang datang ke saya, mereka ingin belajar berbisnis. Ada yang dari Palembang, dari Jambi dan dari Pekanbaru. Kita mencari nama yang cocok.” Agusnadi menuturkan kepada Tim JALIN, Selasa (01/03/2022).
“Dan ternyata mereka adalah teman-teman disabilitas yang tujuannya ingin mendapatkan kesetaraan, itu kenapa kami menyebutnya Kito Rato yang artinya, kita setara.” Katanya memberi penjelasan.

Di kampus Kita Setara ini, teman-teman difabel belajar bagaimana memulai bisnis, membuat produk, memarketingkan produk hingga bagaimana memotivasi diri bahwa beda itu kaya akan makna.
“Meski penyandang disabilitas, mereka juga diberi kesempatan yang sama untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan lewat bisnis.” Lanjutnya.
Teman-teman difabel yang belajar berbisnis dilatih dan didampingi hingga akhirnya menghadirkan kopi sebagai produk pertama yang dihasilkan.
Bisnis kopi itu kemudian dimulai dengan memanfaatkan mobil VW Combi dengan mengusung brand Kito Rato. Sejak itu kopi tersebut dikenal dengan sebutan Kedai Inspirasi Kito Rato.

Bermula dari hanya 3 orang difabel, Kedai Kito Rato kini telah berhasil membantu sahabat difabel lebih mandiri hingga berkisar 400-500 orang jumlahnya.
Jumlah ini kemudian discreening kembali untuk mengetahui kemampuan sahabat difabel apakah ingin menjadi wirausaha atau menjadi pekerja.
“Yang benar-benar ingin menjadi wirausaha kita perkecil lagi, misalnya ada kelas barista, ada kelas menjahit, ada kelas memasak, membatik, hingga kelas digital marketing”. Kata Agusnadi.
Tantangan terbesar dalam memberikan pelatihan pada Sahabat Difabel ini adalah menjaga semangat mereka agar tetap sama dan tidak luntur, tantangan lainnya adalah marketing.
“Punya program tapi tidak punya market, menurut kami itu juga jadi tantangan” ujarnya.

Hingga kini, prestasi terbesar yang dapat ditunjukkan Kito Rato adalah membuktikan bahwa disabilitas juga memiliki kualitas.
Sedangkan dari sisi finansial, mereka yang telah diberi pelatihan memiliki kemampuan untuk mengelola bisnisnya sendiri dan akhirnya menjadi role model bagi penyandang disabilitas lainnya.
Baca juga:
* Kue Lekker Pak Mijan, 35 Tahun Tidak Ubah Cita Rasanya
Di kesempatan yang berbeda, Bu Dewi, pelatih menjahit di kampus Kita Setara mengaku sangat senang dengan hadirnya Kito Rato karena menjadi wadah belajar bagi banyak difabel.
Kedai Kito Rato beralamat di Granada Square, Rawa Buntu, Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Banten.
Meski kopi jadi menu utama, namun Kito Rato juga menawarkan variasi produk makanan lain seperti bakso, jajanan pasar, hingga aksesoris dengan rentang harga Rp 15.000 – 18.000.
(Penulis Tim Jalin: Efa Butar Butar)